zakyzr.com

Sunday, 14 May 2017

Katakanlah Tidak Tahu!

Jika saya bertanya, lebih baik mana antara menjadi orang yang tidak tahu ataukah orang yang sok tahu? Pasti jawaban normatifnya lebih baik tidak tahu. Karena jika kita menjadi orang yang sok tahu maka dampaknya akan menjerumuskan orang ke arah yang salah dan bla bla bla bla. Namun, pada kenyataan di lapangan, tidak jarang yang terjadi justru berlawanan dengan pertanyaan di atas. Tidak percaya?
            Misalnya begini, Anda sedang jatuh hati pada seseorang. Pastinya Anda ingin sekali terlihat baik dan sempurna di matanya, agar perasaan jatuh hati Anda tidak bertepuk sebelah tangan. Pada suatu hari, orang yang hati Anda jatuh padanya bertanya sesuatu kepada Anda, tetapi Anda belum punya pengetahuan yang jelas tentang apa yang ditanyakan tersebut. Apakah Anda yakin akan menjawab tidak tahu dengan polosnya? Belum tentu. Apalagi ditambah tersedianya kesempatan bagi Anda untuk membuka ponsel pintar lantas googling. Kemungkinannya sangat besar Anda akan menggunakan segenap kekuatan Anda untuk menjawab pertanyaan itu. Atau, misalnya, Anda adalah seorang narasumber, atau pembicara dalam sebuah forum. Kemudian ada orang yang bertanya, tak dinyana pertanyaan itu bagus sekali tetapi Anda tak sanggup menjawabnya. Apa yang akan Anda lakukan? Berkata tidak tahu –juga dengan cara yang polos? Rasa gengsi akan menjalar ke seluruh tubuh Anda, mengalir bersama darah Anda, terus memanjat hingga ubun-ubun, memberi kekuatan pada bibir Anda, dan meluncurlah kata-kata manis seakan-akan itulah jawabannya. Ternyata untuk berkata tidak tahu itu amat tidak mudah.
            Satu kisah lucu yang dituturkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani. Entah cerita ini  fakta atau fiksi, yang jelas Syaikh berpesan untuk ambil 'ibrahnya. Begini, di masa lalu, ada seorang yang dianggap mufti yang rutin memberikan ceramah. Suatu hari, dia berhalangan karena hendak safar, maka anaknya diminta menggantikan posisinya. Sadar anaknya tidak tahu apa-apa tentang ilmu syari’at, Sang Ayah berkata, “Aku akan beri satu petunjuk yang membuat engkau selamat sampai aku kembali”. Maksudnya petunjuk untuk mengisi ceramah. Si Anak menimpali, “Apa itu?”. Ayahnya menjawab, ”Nanti setiap ada yang bertanya padamu suatu masalah, tinggal katakan saja “Fil mas-alah qoulani” (Dalam masalah ini ada dua pendapat) tanpa perlu berpanjang lebar. Misalnya nanti ada orang datang bertanya: “Wahai Syaikh, seseorang sholat dzuhur kurang rakaatnya, apakah shalatnya batal atau tidak?” Jawab saja, “Ada dua pendapat dalam masalah ini”. Alihkan pembicaraan. Beres. Si anak paham dan ayahnya pun pergi. Kemudian datanglah orang-orang ke majelis dan setiap ada pertanyaan dijawab sebagaimana yang telah direncanakan, tanpa malu dijawab dengan jawaban singkat tersebut.
Kemudian di antara mereka ada seorang yang cerdas, mengetahui bahwa anak dari syaikh ini bodoh, dia pun khawatir kebodohannya ini akan menyesatkan jamaah yang hadir. Kemudian dia suruh seseorang di sebelahnya untuk bertanya: “A fillah syakkun?” (Apakah ada keraguan kepada Allah?) dijawab pula sebagaimana biasa, kemudian majelis pun tertawa karena mengetahui ternyata anak si syaikh ini bodoh. Ini kisah mungkin lucu, tetapi tujuan Syaikh Nashiruddin al-Albani bukan sebagai lelucon, melainkan agar menjadi pelarajan bagi sesiapa yang sok tahu dan gengsi untuk sekadar berakta tidak tahu.
Bagi saya tidak penting kisah yang dituturkan itu benar adanya atau tidak, karena yang lebih penting adalah pelajaran bagaimana kita bisa mengelola diri agar tidak sok tahu di depan orang. Hanya karena ingin dipuji dan didamba, kemudian menjawab seenaknya sendiri seolah menguasai materi yang ditanyakan. ‘Umar bin Khaththab pernah mengatakan bahwa ada tiga tingkatan orang yang menuntut ilmu. Apabila seseorang sudah menapaki tingkat pertama, maka dia menjadi tinggi hati, atau bahasa syar’i-nya takabbur. Jika dia menapaki tahap kedua, dia akan mulai rendah hati atau tawadhu’. Kemudian jika dia berhasil menapaki tahap ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Berarti jelas bahwa orang yang sok tahu hanya baru menapaki jenjang yang pertama.
Nabi Musa alayhissalam mendapat teguran secara tidak langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala. Manakala dirinya ditanya oleh salah seorang dari kaumnya tentang siapa orang paling pintar di dunia ini, Musa menjawab, “sayalah yang paling pintar,” kemudian Allah memerintahkannya untuk mengembara mencari orang yang lebih berilmu darinya. Dengan berbekal makanan dan kawan bepergian yang bernama Yusya’ bin Nun, Musa harus menemukan orang itu yang berada di pertemuan antara dua laut. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Khidhr ‘alayhissalam. Kisah mereka dapat disimak saksama dalam al-Qur’an Surah al-Kahfi. Akhir dari kisah tersebut menyebutkan bahwa Musa harus menyesal karena tidak sabar mengais ilmu dari Khidhr, maka sadarlah dirinya bahwa masih ada orang yang lebih berilmu ketimbang dirinya. “dan di atas tiap orang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.”[1]
Sangat naif bagi kita menjadi orang yang merasa tahu padahal tidak tahu. Padahal Allah hanya memberikan ilmu yang sedikit kepada kita. “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit.”[2] Maka gengsi itu harus dihilangkan. Karena menjadi orang yang tidak tahu jauh lebih aman ketimbang menjadi orang yang sok tahu, menjawab di luar pemahaman kita, kemudian menjerumuskan orang lain ke dalam kesesatan. Salah-salah, kita bisa saja mendapatkan dosa jariyah, yakni dosa yang terus-menerus kita dapatkan hanya karena ajaran kita yang salah dilakukan oleh orang-orang yang ada di generasi setelah kita.
Islam adalah agama yang sempurna, yang dapat memberikan solusi bagi segala permasalahan. Maka, untuk menghindari sifat sok tahu dalam diri manusia, Allah memerintahkan kita untuk bertanya kepada orang yang lebih berilmu. “Maka bertanyalah kepada yang memiliki ilmu, jika kalian tidak mengetahui.”[3]



[1] QS. Yusuf (12): 76.
[2] QS. Al-Israa (17): 85.
[3] QS. Al-Anbiya (21): 7.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com