Jika saya
bertanya, lebih baik mana antara menjadi orang yang tidak tahu ataukah orang
yang sok tahu? Pasti jawaban normatifnya lebih baik tidak tahu. Karena jika
kita menjadi orang yang sok tahu maka dampaknya akan menjerumuskan orang ke
arah yang salah dan bla bla bla bla. Namun, pada kenyataan di lapangan, tidak
jarang yang terjadi justru berlawanan dengan pertanyaan di atas. Tidak percaya?
Misalnya begini, Anda sedang jatuh
hati pada seseorang. Pastinya Anda ingin sekali terlihat baik dan sempurna di
matanya, agar perasaan jatuh hati Anda tidak bertepuk sebelah tangan. Pada suatu
hari, orang yang hati Anda jatuh padanya bertanya sesuatu kepada Anda, tetapi
Anda belum punya pengetahuan yang jelas tentang apa yang ditanyakan tersebut. Apakah
Anda yakin akan menjawab tidak tahu dengan polosnya? Belum tentu. Apalagi
ditambah tersedianya kesempatan bagi Anda untuk membuka ponsel pintar lantas googling.
Kemungkinannya sangat besar Anda akan menggunakan segenap kekuatan Anda untuk
menjawab pertanyaan itu. Atau, misalnya, Anda adalah seorang narasumber, atau
pembicara dalam sebuah forum. Kemudian ada orang yang bertanya, tak dinyana
pertanyaan itu bagus sekali tetapi Anda tak sanggup menjawabnya. Apa yang akan
Anda lakukan? Berkata tidak tahu –juga dengan cara yang polos? Rasa gengsi akan
menjalar ke seluruh tubuh Anda, mengalir bersama darah Anda, terus memanjat
hingga ubun-ubun, memberi kekuatan pada bibir Anda, dan meluncurlah kata-kata
manis seakan-akan itulah jawabannya. Ternyata untuk berkata tidak tahu itu amat
tidak mudah.
Satu kisah lucu yang dituturkan oleh
Syaikh Nashiruddin al-Albani. Entah cerita ini fakta atau fiksi, yang jelas Syaikh berpesan
untuk ambil 'ibrahnya. Begini, di masa lalu, ada seorang yang dianggap mufti yang
rutin memberikan ceramah. Suatu hari, dia berhalangan karena hendak safar, maka
anaknya diminta menggantikan posisinya. Sadar anaknya tidak tahu apa-apa
tentang ilmu syari’at, Sang Ayah berkata, “Aku akan beri satu petunjuk yang
membuat engkau selamat sampai aku kembali”. Maksudnya petunjuk untuk
mengisi ceramah. Si Anak menimpali, “Apa itu?”. Ayahnya menjawab, ”Nanti
setiap ada yang bertanya padamu suatu masalah, tinggal katakan saja “Fil
mas-alah qoulani” (Dalam masalah ini ada dua pendapat) tanpa perlu
berpanjang lebar. Misalnya nanti ada orang datang bertanya: “Wahai Syaikh, seseorang
sholat dzuhur kurang rakaatnya, apakah shalatnya batal atau tidak?” Jawab
saja, “Ada dua pendapat dalam masalah ini”. Alihkan pembicaraan. Beres.
Si anak paham dan ayahnya pun pergi. Kemudian datanglah orang-orang ke majelis
dan setiap ada pertanyaan dijawab sebagaimana yang telah direncanakan, tanpa
malu dijawab dengan jawaban singkat tersebut.
Kemudian di antara mereka ada seorang yang cerdas, mengetahui bahwa anak
dari syaikh ini bodoh, dia pun khawatir kebodohannya ini akan menyesatkan jamaah
yang hadir. Kemudian dia suruh seseorang di sebelahnya untuk bertanya: “A
fillah syakkun?” (Apakah ada keraguan kepada Allah?) dijawab pula
sebagaimana biasa, kemudian majelis pun tertawa karena mengetahui ternyata anak
si syaikh ini bodoh. Ini kisah mungkin lucu, tetapi tujuan Syaikh Nashiruddin
al-Albani bukan sebagai lelucon, melainkan agar menjadi pelarajan bagi sesiapa
yang sok tahu dan gengsi untuk sekadar berakta tidak tahu.
Bagi saya tidak penting kisah yang dituturkan itu benar adanya atau tidak,
karena yang lebih penting adalah pelajaran bagaimana kita bisa mengelola diri
agar tidak sok tahu di depan orang. Hanya karena ingin dipuji dan didamba,
kemudian menjawab seenaknya sendiri seolah menguasai materi yang ditanyakan. ‘Umar
bin Khaththab pernah mengatakan bahwa ada tiga tingkatan orang yang menuntut
ilmu. Apabila seseorang sudah menapaki tingkat pertama, maka dia menjadi tinggi
hati, atau bahasa syar’i-nya takabbur. Jika dia menapaki tahap kedua,
dia akan mulai rendah hati atau tawadhu’. Kemudian jika dia berhasil
menapaki tahap ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Berarti
jelas bahwa orang yang sok tahu hanya baru menapaki jenjang yang pertama.
Nabi Musa alayhissalam mendapat teguran secara tidak langsung dari
Allah subhanahu wa ta’ala. Manakala dirinya ditanya oleh salah seorang
dari kaumnya tentang siapa orang paling pintar di dunia ini, Musa menjawab, “sayalah
yang paling pintar,” kemudian Allah memerintahkannya untuk mengembara
mencari orang yang lebih berilmu darinya. Dengan berbekal makanan dan kawan
bepergian yang bernama Yusya’ bin Nun, Musa harus menemukan orang itu yang
berada di pertemuan antara dua laut. Orang itu tidak lain dan tidak bukan
adalah Khidhr ‘alayhissalam. Kisah mereka dapat disimak saksama dalam
al-Qur’an Surah al-Kahfi. Akhir dari kisah tersebut menyebutkan bahwa Musa
harus menyesal karena tidak sabar mengais ilmu dari Khidhr, maka sadarlah dirinya
bahwa masih ada orang yang lebih berilmu ketimbang dirinya. “dan di atas
tiap orang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.”[1]
Sangat naif bagi kita menjadi orang yang merasa tahu padahal tidak tahu. Padahal
Allah hanya memberikan ilmu yang sedikit kepada kita. “dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit.”[2]
Maka gengsi itu harus dihilangkan. Karena menjadi orang yang tidak tahu jauh
lebih aman ketimbang menjadi orang yang sok tahu, menjawab di luar pemahaman
kita, kemudian menjerumuskan orang lain ke dalam kesesatan. Salah-salah, kita
bisa saja mendapatkan dosa jariyah, yakni dosa yang terus-menerus kita dapatkan
hanya karena ajaran kita yang salah dilakukan oleh orang-orang yang ada di
generasi setelah kita.
Islam adalah agama yang sempurna, yang dapat memberikan solusi bagi segala
permasalahan. Maka, untuk menghindari sifat sok tahu dalam diri manusia, Allah
memerintahkan kita untuk bertanya kepada orang yang lebih berilmu. “Maka
bertanyalah kepada yang memiliki ilmu, jika kalian tidak mengetahui.”[3]