Pernah menonton sepak bola? Apa yang
terjadi setelah seorang pemain sepak bola mencetak gol? Atau pernahkah menonton
Moto GP, Formula 1, dan sejenisnya? Apa yang terjadi ketika seorang pebalap
berhasil naik podium setelah ajang balap usai? Atau pernahkah membaca sejarah
tentang kisah-kisah perang zaman dahulu? Apa yang terjadi ketika sebuah pasukan
–kerajaan Mongol misalnya- meraih kemenangan atas pasukan lain?
Jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan di atas –sekalipun Anda belum pernah menonton atau
membacanya- relatif senada. Bergembira, berpesta-pora, bahkan ada yang
mengekspresikan kegembiraannya secara berlebihan hingga mencelakai diri
sendiri. Kemenangan adalah sebuah keadaan dimana kita memperoleh hasil yang
lebih baik daripada yang diperoleh orang lain atau pesaing kita. Oleh sebab
itu, banyak sekali orang yang terlena ketika meraih kemenangan.
Mental
adalah satu elemen terpenting dalam menjalani persaingan. Seorang yang
bermental pemenang bukanlah mereka yang selalu meraih kemenangan di setiap
perombaan, tetapi seorang bermental pemenang adalah mereka yang siap menerima
apapun hasilnya, kalah maupun menang dalam setiap persaingan yang dilakoninya.
Maka jangan heran bila kita melihat mereka yang mengalami kekalahan langsung meluap
emosinya dengan melampiaskannya kepada lingkungan sekitarnya. Bahkan hingga
melukai orang lain. Rasanya telah sangat akrab di negeri kita, ketika ada
sekelopok suporter tim sepakbola yang mengalami kekalahan lantas membuat
kerusuhan setelah pertandingan baik di dalam stadion maupun di luar stadion.
Ada pula calon anggota dewan yang mengalami stres dan sakit jiwa tatkala
mendapati dirinya gagal menjadi anggota dewan, padahal sudah jor-joran
mengeluarkan dana untuk kampanye. Ada juga yang lebih parah, siswa sebuah
sekolah diberitakan bunuh diri karena tidak lulus Ujian Nasional! Begitulah
yang terjadi apabila mereka tidak memiliki mental pemenang dalam jiwanya. Na’udzubillah
min dzalik.
Pasukan perang Mongol berpesta pora setiap
selesai mengalami kemenangan. Sejak zaman keemasan yang dimotori oleh Genghis
Khan, hingga kepemimpinan Raja Mongol yang muslim semodel Timur Leng sekalipun,
tetap saja budaya itu tidak berubah. Kendatipun hal seperti ini menjadi hal
lumrah bagi siapapun yang menang, namun Islam mengajarkan kerendahhatian bagi
mereka yang menang.
Tidak banyak
yang tahu bahwasanya Allah mengajarkan hamba-Nya tentang adab menyikapi
kemenangan yang diraih. Dalam surah An-Nashr, Allah mengajarkan para hamba-Nya
untuk senatiasa mawas diri, sekalipun kita mengalami kemenangan yang besar.
Meskipun mayoritas umat Islam sudah menghapal dengan baik surah Madaniyyah
(turun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah) ini, namun nyatanya mayoritas pula
yang tidak memahami makna dari surah yang hanya berisi tiga ayat ini.
Surah
An-Nashr adalah surah terakhir dalam Al-Qur’an yang turun secara keseluruhan. Dari
‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata: Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
'anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang
turun secara keseluruhan?" Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal
fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”. (HR. Muslim).
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama, tentang keadaan saat diturunkannya surah
ini, apakah turun sebelum atau setelah terjadinya peristiwa fathu makkah
(penaklukkan Kota Mekkah). Terlepas dari itu semua, kita dapat membuat sebuah
kesimpulan, bahwa surah An-Nashr diturunkan berkaitan dengan peristiwa
penaklukkan Kota Mekkah. Yaitu pertolongan Allah kepada kaum muslimin untuk
merebut dan mengislamkan Kota Mekkah dari tangan kaum kafir Quraisy. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya pun menyatakan bahwa kata fathu pada akhir ayat
pertama merujuk kepada peristiwa Fathu Makkah.
Serangkaian
firman Allah dalam surah ini memaparkan banyak makna. Di antaranya adalah
banyaknya nikmat serta pertolongan yang Allah turunkan kepada para hamba-Nya,
wajibnya seorang hamba bersyukur manakala meraih kemenangan dan kebahagiaan,
dan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa beristighfar (meminta ampun)
dan bertobat. Hari ini
hingga beberapa hari ke depan masih kental dengan nuansa Idul Fitri, yang bagi
sebagian orang benar-benar dimaknai sebagai hari kemenangan, tetapi bagi
sebagian orang yang hanya sebatas diucap di lisan saja.
Betapa banyak yang betul-betul menang
setelah Ramadhan mereka yang tak disia-siakan, betapa banyak yang betul-betul
menang atas berkualitasnya tadarus mereka, betapa banyak yang betul-betul
menang atas berkualitasnya waktu yang mereka bagi-bagi untuk keluarga, untuk
ibadah, hingga untuk memenuhi hak atas saudaranya, bahkan betapa banyak yang
betul-betul menang dalam mudik-mudik mereka, dalam bermedsos ria mereka, dalam
senda gurau mereka. Sebaliknya, betapa banyak yang menyia-nyiakan Ramadhan
mereka, betapa banyak yang kejar target tilawah namun hasilnya hanya khatam
tanpa ada pemahaman dan kesadaran yang baru, betapa banyak yang mudik,
bermedsos ria, dan senda gurau mereka justru menghasilkan maksiat yang lebih
besar, alih-alih ibadah yang lebih besar.
Fasabbih, maka bertasbihlah
kepada Allah di hari kemenangan kita. Bertasbih di waktu pagi dan petang.
Bertasbih untuk menyucikan-Nya dari penuhanan kita kepada Ramadhan, penuhanan
kita kepada selain-Nya. Bertasbih untuk mengingat kesucian-Nya yang telah
memberikan kita kemuliaan dan kesucian Ramadhan, hingga kita diberikan
kesempatan menapaki garis finish di ‘Idul Fitri.
Bihamdi rabbika, dengan
pujian kepada-Nya, kita bersyukur atas kesempatan melipatgandakan amalan kita
di Bulan Ramadhan. Kita bersyukur atas ampunan-Nya atas dosa-dosa kecil kita
yang telah lampau. Kita bersyukur atas dibelenggunya setan-setan dan neraka
yang ditutup hingga kita tidak merasakan godaan dan hawa panasnya neraka. Kita
bersyukur dengan adanya momen Ramadhan dan Syawal, bisa kembali berkumpul
bersama keluarga dan kerabat, yang mungkin saja di bulan-bulan yang lain tidak
sempat bersemuka sama sekali.
Wastaghfirhu, maka
senantiasalah meminta ampunan kepada-Nya setelah mendapat kemenangan. Tiada
satupun pihak yang dapat memberikan kita kemenangan selain Dia. Tiada satupun
kemenangan yang mendatangkan berkah kecuali karunia dari-Nya. Sebab meminta
ampun adalah tindakan tahu diri bagi kita yang senantiasa bermaksiat, namun
masih selalu diberikan kebahagiaan oleh-Nya. Sebab meminta ampun adalah
perbuatan terpuji yang membuat kita tidak melampaui batas dalam merayakan
kemenangan. Sebab meminta ampun adalah perbuatan para nabi, sekalipun mereka
sudah memegang jaminan ampunan dari Rabb yang mengutus mereka.
Setelah kemenangan yang kita terima,
marilah kita menang dalam mudik-mudik kita, kemenangan dalam swafoto-swafoto
kita, kemenangan dalam sungkem-sungkem kita, kemenangan dalam kenikmatan
ketupat serta opor-opor kita, dengan iringan tasbih, tahmid, dan istighfar
kita.
0 comments:
Post a Comment