Kisah Ashabul Kahfi bukanlah kisah yang asing
di telinga umat Islam. Kisah ini termasuk kisah yang populer dan beberapa orang
mungkin sudah mendengarnya sejak masa kanak-kanak. Bahkan seharusnya kisah ini
sudah sangat dihafal oleh umat Islam hingga hikmah-hikmahnya, karena
disunnahkan untuk membacanya setiap Jumat. Dan kisah Ashabul Kahfi ini terletak
di tempat yang sangat strategis, yakni di awal-awal surah al-Kahfi.
Kisah
itu begitu menggugah, karena walau bagaimanapun, mereka lari bukan sekadar
lari. Tetapi lari dari kejaran tentara raja zalim yang memaksa mereka
menggadaikan keimanan mereka. Jumlah mereka hanya enam orang, kemudian di jalan
bertemu dengan orang yang satu ideologi dan satu tujuan, jadilah jumlah mereka
menjadi tujuh ditambah dengan satu anjing. Apa yang mereka lakukan memang
benar-benar hal yang sudah di ambang putus asa. Mereka lari, kemudian masuk ke
gua. Padahal, secara logika, mudah saja balatentara itu menemukan mereka di
dalam gua. Namun, pada kenyataannya mereka selamat dari kejaran balatentara
tersebut. Mereka tertidur lelap di dalam gua, dibersamai dengan seekor anjing.
Setelah 309 tahun, mereka terbangun, merasa baru melewatkan sehari atau
setengah hari. Tetapi apa yang mereka dapatkan ketika salah satunya keluar gua
sangat mengagetkan. Ternyata zaman dan kondisinya sudah berubah total. Raja
yang dulu bernafsu sekali menzalimi mereka, kini sudah berganti dengan raja
yang adil dan beriman.
Saya
membayangkan, bangsa di negeri yang kita cintai ini, di zaman sekarang adalah
bangsa Ashabul Kahfi. Tetapi bukan tindakan revolusionernya yang ingin saya
sorot secara tajam, melainkan tidurnya yang panjang sekali. Jumat lalu, tepat
pada tanggal 28 Juli 2017, saya shalat Jumat di Masjid Jogokariyan. Memang
disengaja shalat di sana, karena setelah shalat Jumat akan diadakan tabligh
akbar untuk menggalang dukungan pembebasan al-Aqsha. Tanpa saya nyana
sebelumnya, ternyata khatib Jumat waktu itu adalah Ustadz Irfan S. Awwas,
seorang mubaligh yang terkenal keras dan tegas dalam menyampaikan kebenaran
agama Islam. Pada saat itu saya senang sekali, sebab selain isi khutbah yang
pasti berbobot, juga penyampaiannya yang berapi-api tentu saja membuat saya
jauh dari hantu Jumatan yang selalu hinggap di mata saya. Hantu itu lebih dikenal
dengan sebutan ‘ngantuk’.
Singkatnya,
Ustadz Irfan menyampaikan tentang kesempurnaan Islam sekaligus menyinggung
masalah keumatan, terutama masalah al-Aqsha yang hingga saat ini masih diblokir
oleh Israel. Berkali-kali Ustadz Irfan berkata “Umat Islam ini masih tidur
panjang”, yang walau kalimat seperti itu sudah akrab sekali di telinga
saya, tetapi entah mengapa pikiran saya langsung terbang kepada kisah Ashabul
Kahfi. Padahal jelas berbeda antara tidurnya Ashabul Kahfi dengan ‘tidur’nya
umat Islam saat ini. Tidurnya Ashabul Kahfi jelas tidur yang amat berkualitas,
karena tidurnya memang ditakdirkan Allah untuk menjauh dari rezim zalim. Tapi
tidurnya umat Islam di negeri ini? Ashabul Kahfi minoritas, sedangkan bangsa
ini mayoritas umat Islam. Ashabul Kahfi tak kuasa melawan rezim, tetapi umat
sekarang?
Jadi,
sebetulnya tulisan ini memang sengaja saya buat singkat. Kita jelas menang
jumlah, kita jelas masih memiliki ‘alim ‘ulama, kita jelas punya banyak saudara
yang sejatinya mampu membantu. Namun, apa yang membuat kita tidak bisa bergerak
bangkit, melawan, dan memenangkan pertempuran. Saya teringat dengan
tulisan-tulisan Syaikh Syakib Arsalan yang kemudian dibukukan berjudul Limaadzaa
Ta’akhkharal Muslimuun wa Limaadzaa Taqaddama Ghayruhum. Tulisan itu secara
jelas mengungkapkan mengapa umat Islam tertinggal dari umat lainnya, dan sangat
relevan tulisan-tulisan itu dengan kondisi saat ini. Tetapi masalahnya, tulisan
itu dibuat hampir seabad yang lalu. Saat teknologi tidak secanggih dan
semelenakan seperti sekarang.
Berapa
lama lagi kita masih akan tidur? Apakah juga selama dan selelap Ashabul Kahfi
yang mencapai tiga abad lamanya. Saya yakin tidak, tetapi sampai kapan?