Belum kering air mata umat
Islam melihat penderitaan saudaranya di al-Aqsha, datang kabar baru tentang
saudara muslim di Rakhine State. Kendati tentu saja kabar soal Orang-orang
Rohingya yang mendapat siksaan oleh Junta militer dan oknum agamawan Budha ini
bukanlah berita baru. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir ini kita mendapat kabar
soal pembantaian di sana. Tetapi memang berita kali ini lebih besar dan
menyayat hati. Dengan video-video kekejaman Junta militer Myanmar dan
orang-orang Rohingya yang melarikan diri secara menyedihkan, orang-orang awam
makin perhatian kepada mereka. Belum lagi penggalangan dana dimana-mana yang
meraup dana cukup besar. Meskipun tentu saja ada orang-orang yang sinis,
orang-orang yang menganggap toleran tetapi sangat tidak suka melihat
orang-orang muslim menjadi solid dalam menyuarakan kebenaran.
Tentu saja bukan kapasitas saya membicarakan persoalan
Rohingya karena ilmu saya yang amat terbatas. Tetapi setidaknya saya mewajibkan
diri untuk terus berusaha mengingatkan khalayak akan siksaan yang dialami oleh
orang-orang Rohingya di Rakhine State sana, agar terbuka mata kita bahwa banyak
ketidakadilan di muka bumi. Bahwa penindasan mayoritas terhadap minoritas masih
terjadi di dunia yang damai ini. Mari lihat dengan kacamata logika, apakah
mereka pantas dianiaya sedemikian rupa, sehingga mereka harus berpayah-payah
melarikan diri ke negeri seberang? Bagi yang hatinya belum mati, pastilah
menjawab tidak pantas. Terlepas dari persoalan agama, orang-orang Rohingya
dalam beberapa sumber disebutkan telah menduduki wilayah Arakan sejak abad ke-8
Masehi. Sensus Inggris tahun 1872 juga menunjukkan bahwa Rohingya sebagai
komunitas muslim yang menduduki wilayah Arakan, saat itu Myanmar di bawah
koloni Inggris. Pada tahun 1948, Konstitusi dan UU Kewarganegaraan menyatakan
semua etnis diakui, termasuk Rohingya. Pada saat Myanmar merdeka tahun 1947,
Rohingya dianggap sebagai etnis asli Myanmar, bukan pendatang, apalagi imigran
ilegal seperti yang disebutkan oleh beberapa pihak. Tetapi pada tahun 1965,
Junta militer merilis daftar 135 golongan etnis dan agama, yang ternyata di
dalamnya etnis Rohingya telah dihapuskan, itu terjadi setelah kudeta militer
yang mengawali rezim Junta militer di Myanmar, entah ada hubungannya atau
tidak. Faktanya, orang Myanmar yang lahir setelah tahun 1965, kebanyakan mereka
tidak tahu ada sebuah etnis di negaranya yang bernama Rohingya, atau setidaknya
mereka kenal orang Rohingya sebagai keturuan Bangladesh, bukan orang Myanmar
asli, karena memang nama Rohingya dihapuskan dari sejarah nasional secara
sistematis.
Kejahatan yang dilakukan oleh Junta militer memang
jelas-jelas kejahatan genosida. Lucunya adalah ketika kita menerima kenyataan
bahwa Aung San Suu Kyi, sang presiden sekaligus penerima Nobel Perdamaian hanya
bersikap diam atas penyiksaan terhadap orang-orang Rohingya. Jadi, atas dasar
apa Suu Kyi tetap menyandang status sebagai penerima Nobel Perdamaian? Myanmar
berdiri atas pergulatan sejarah, mereka tidak terdiri dari satu suku aja. Ada banyak
etnis yang membentuk negeri Myanmar. Rohingya sendiri bukanlah satu-satunya
etnis muslim di Myanmar, tetapi mereka yang mengalami genosida. Kejahatan semacam
itu sudah masuk kategori genosida, bukan yang lain. Genosida, menurut Konvensi
PBB tahun 1984, tidaklah terbatas pada pembantaian secara fisik saja, tetapi
juga menyakiti atau menyiksa sekelompok orang karena alasan identitas yang
melekat pada ras, etnis, ataupun agama. Sebagian beranggapan karena Rohingya
adalah muslim, tetapi sebagian berpendapat ini soal politik, karena tanah yang
didiami orang-orang Rohingya adalah tanah yang memiliki kekayaan alam, dan ini
sangat diincar pemerintah. Apapun alasannya, kejahatan menyiksa manusia lain,
apalagi ras tertentu, tidak bisa dibenarkan sampai kapanpun. Tidak ada satupun
agama yang mengajarkan untuk menganiaya umat agama lain, atau ras tertentu. Soal
ini, lagi-lagi harus saya katakan, saya tidak berkapasitas untuk membahasnya. Biarlah
ini dijelaskan oleh mereka yang jauh lebih ahli. Harapan kita –yang masih punya
hati- pasti sama, orang-orang Rohingya diberi kehidupan yang layak, dan mereka
kembali ke tanah mereka.
Ironisnya, genosida ini termasuk kejahatan yang berkali-kali
dibiarkan oleh dunia. Awal abad ke-20, Suku Moriori di Pulau Chatham dibombardir
oleh saudaranya sendiri, yakni Suku Mori, hingga tahun 1933 Suku Moriori
benar-benar punah. Tahun 1980-an ada pemberantasan ratusan ribu orang Kurdi
dengan operasi yang dikenal dengan Chemical Ali. Genosida terhadap suku
asli Amerika tak kalah menyedihkan. Columbus bukanlah orang pertama yang
menemukan benua Amerika. Jauh sebelum Columbus, sudah ada pelancong Tiongkok
dan pelancong Muslim sekelas Ibnu Batutta mendarat di Amerika. Columbus menginjakkan
kaki di Amerika sambil terheran-heran melihat peradaban di sana yang katanya
ada bangunan mirip bangungan di Persia dan orang-orang melakukan gerakan aneh
di dalamnya. Kita pasti langsung tahu bangunan yang dimaksud adalah masjid, dan
gerakan aneh yang dimaksud adalah shalat. Hal ini diperkuat dengan ucapan
terimakasih kepada Ibnu Batutta atas peta yang telah dibuat dalam catatan
perjalanannya. Al-Masudi, seorang sejarawan dan ahli geografi muslim (871 –
957) melaporkan dalam bukunya, Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar (The
Meadows of Gold and Quarries of Jewels), bahwa semasa pemerintahan Khalifah
Andalusia, Abdullah Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Sa’id Ibn Aswad
berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik,
hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhuula, dan
kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Lantas, apa yang dilakukan Columbus? Dia menemui pemuka
suku di sana, yang dia sebut dengan Indian, karena mengira tanah yang dipijak
adalah tanah Hindia yang terdapat banyak rempah-rempah. Seorang kepala suku
yang diminta tunduk kepada Columbus –karena Columbus merasa lebih tinggi
derajatnya dibanding penduduk ‘dunia baru’ itu- menolak tunduk. Colombus
memerintahkan kepala suku tersebut –yang dalam beberapa sumber disebutkan
bernama Hatuey, dan sukunya adalah Indian Arawak- dan pengikutnya diikat di
sebuah tonggak kayu mirip salib dan dihukum bakar hidup-hidup. Ketika sang
kepala suku diikat ke kayu, seorang Pastor Fransiscan mendekatinya dan
mendesaknya untuk mengakui Yesus sebagai tuhan, agar jiwanya dapat pergi ke surga
daripada ke neraka. Dengan penuh harga diri sang kepala suku menjawab, bahwa
jika surga itu adalah tempat bagi orang-orang seperti Colombus dan kawanannya,
maka dia lebih baik pergi ke neraka. Mereka digantung secara serentak, yang
berjumlah 13 orang. Demikian catatan para saksi mata yang dalam beberapa buku
sejarah tentang kedatangan awal Colombus di Amerika.
Arsip di Perpustakaan Kongres (Library of Congress)
menunjukkan adanya perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Indian
Cherokee tahun 1787. Terbubuhkan tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu,
bernama Abde Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah. Sebagaimana diskriminasi terhadap
etnis Rohingya, begitulah nasib yang diterima para Indian muslim di Amerika,
yang notabene adalah penduduk asli. Mereka dianggap sebagai suku primitif nan
terbelakang, padahal orang-orang Eropa-lah yang menumpang hidup di sana. Praktis
setelah datangnya Columbus, peradaban di sana berubah secara signifikan. Orang-orang
kulit putih masuk membawa budak-budak kulit hitam. Mereka menjajah dan
meminggirkan semua yang tidak mau tunduk kepada pihaknya. Padahal pelancong-pelancong
sebelumnya tidak pernah mengusik penduduk di sana, bahkan mereka menjalin
kekerabatan, sebagaimana data yang disajikan oleh Gavin Menzies dalam karya
fenomenalnya, 1421: The Year China Discovered America.
Pemberantasan
suku Indian muslim di Amerika, jelas salah satu kejahatan genosida terbesar di
dunia. Tetapi, sejarah ditulis oleh yang menang. Sebagaimana Junta militer di
Myanmar, Columbus dan para loyalisnya dengan bangga menyatakan bahwa
Chritstopher Columbus adalah penemu Amerika, dan dialah yang paling berjasa
atas segala kemajuan yang dialami Amerika hingga detik ini. Jika kejahatan
genosida sebagaimana yang dilakukan Columbus saja dibiarkan, bahkan sampai kejahatannya
saja tidak tercium oleh orang-orang awam yang manggut-manggut saja kepada buku
sejarah di sekolahnya, maka tidaklah heran jika suku Rohingya sampai detik ini
masih jauh dari perhatian dunia karena masih saja banyak yang menganggap mereka
imigran ilegal dari Bangladesh. Saya jadi teringat dengan apa yang pernah
dikatakan oleh salah satu pentolan Nazi, Jozef Goebbels: “Sebarkan
kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan
membuat publik menjadi percaya.” Inilah yang kita terima sekarang,
terkhusus menyoal Indian muslim di Amerika dan juga Rohingya di Myanmar. Maka,
lakukanlah cara yang paling mungkin kita lakukan, selain mendonasikan bantuan
tentunya. Jika tidak memiliki pengetahuan yang banyak tentang Rohingya, maka
sebarkanlah tulisan-tulisan para ahli dari seumber yang terpercaya, demi
kembalinya hak mereka sebagai manusia yang layak hidup di muka bumi.
0 comments:
Post a Comment