Mohon maaf,
bukan saya ingin mempekeruh suasana, atau memperpanjang bahasan soal pribumi,
tetapi karena baru-baru ini saya menonton film Marvel keluaran terbaru yang
berjudul Thor: Ragnarok, saya jadi tergugah untuk menuliskannya. Tenang
saja, saya tidak berniat untuk menyajikan spoiler atau bocoran-bocoran
dalam film, jadi bagi yang belum menonton, tidak perlu khawatir untuk membaca
tulisan ini sampai selesai.
Singkatnya, film Thor edisi kali ini
adalah tentang tanah airnya para dewa, yakni Asgard, yang akan menemui ujung
usianya, atau dengan kata lain kiamat; kiamat lokal. Akhir dari Asgard ini
disebut dengan Ragnarok. Memang dalam mitologi Nordik, Ragnarok ini akan
terjadi. Dewa sekelas Odin sekalipun tidak akan sanggup melawannya, dengan kata
lain, Odin, sebagai penguasa Sembilan Dunia pun akan mati. Dewa kok mati,
ya? Lucu juga. Berbeda dengan kisah aslinya, dalam film yang memang disesuaikan
dengan alur komik Marvel, Ragnarok ini ternyata didalangi oleh Hela, anak
sulung Odin sendiri, yang tak lain adalah kakak dari Thor dan Loki. Kemudian
Thor dan Loki, yang di edisi sebelumnya bermusuhan, bergabung untuk sama-sama
menyelamatkan Asgard dari Ragnarok. Tetapi suasana menjadi keruh ketika Hela
muncul, Thor dan Loki belum siap melawannya. Oleh sebab ketidakmampuan itulah
Thor dan Loki terbuang ke tempat antah-berantah. Sampai di sini, saya tidak
akan cerita lebih banyak lagi. Karena khawatir akan menjadi spoiler bagi yang
belum menontonnya.
Ketika Thor dilanda pesimis tidak
bisa menyelamatkan Asgard, dia bertemu dengan ayahnya, Odin, di alam khayal.
Saat bertemu itulah Thor mendapat pelajaran akan satu hal. “Asgard is not a
place. It’s people,” demikian Odin berkata, yang kemudian perkataan itu
diteruskan kepada saudara angkatnya, Loki. Ya, kata Odin, Asgard bukanlah
tempat, tetapi Asgard adalah masyarakat. Maksud Odin, Asgard adalah kita, yang
dinisbatkan kepada dia, Thor, dan seluruh rakyatnya. Maka, tidak penting dimana
rakyatnya akan tinggal kelak, Asgard tetaplah Asgard, yang menjadi identitas
bagi seluruh penduduknya.
Pikiran saya langsung melayang
menuju topik yang belum lagi dingin, yakni soal pribumi. Tempo hari, setelah
pelantikan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan dalam pidatonya
berbicara soal pribumi. Sebagaimana yang telah diprediksi, kata itu pun
langsung menjadi perbincangan hangat di berbagai media, bahkan ada yang
mempolisikan pidato Anies tersebut. Isu tersebut terus digoreng untuk
memperkuat status Anies sebagai pihak yang intoleran di kancah pilkada DKI.
Saya bukan pendukung fanatik Anies, walau tentu saja saya menginginkan dia
menjadi gubernur ketimbang dipimpin kembali oleh Pak Basuki yang kurang nyantai
itu. Namun, saya memandang tidak ada yang salah dengan sebutan itu. Dengan
adanya pihak-pihak yang meributkan pidato tersebut –dan Anda tahu dari kubu
mana mereka berasal- saya semakin yakin bahwa orang-orang itu sejatinya hanya
mencari-cari kesalahan gubernur baru, karena junjungannya kalah telak di
pilkada putaran kedua. Kalau memang mereka merasa sebagai pribumi juga, mengapa
harus ribut. Atau jangan-jangan mereka merasa sebagai pihak lain yang disebut
dalam pidato itu, yakni kolonial. Jika memang Anda pribumi, mengapa harus
tersinggung ketika ada kalimat “pribumi harus menjadi tuan rumah di negeri
sendiri”, kecuali memang Anda merasa disinggung sebagai pihak yang merebut
rumah orang.
Kembali lagi ke Asgard, ketika Odin
mengatakan Asgard bukanlah tempat melainkan rakyat, sejatinya itu menegaskan
bahwa yang namanya pribumi itu bukan masalah tempat, tetapi soal identitas. Hal
itu diperkuat –dengan cerdasnya- saat orang-orang Asgard disorot, mereka
terdiri dari berbagai warna kulit, bahkan di antara mereka ada yang berwajah
oriental. Identitas sama dengan jati diri, setidaknya itu yang tertera di KBBI.
Maka ia akan melekat sesuai jati diri. Kalau orang Indonesia, memiliki kartu
identitas sebagai WNI yang artinya diakui sebagai WNI, bertindaklah sebagaimana
orang Indonesia bertindak. Jika tidak sesuai, maka Anda bukan pribumi. Jika
Anda mengaku bangsa Indonesia, tetapi tidak berusaha untuk berkontribusi bagi
Indonesia, berarti Anda bukanlah pribumi. Sesimpel itu.
Karena pribumi bukan hanya masalah
dimana kamu menduduki tempat, tetapi juga soal bagaimana kamu bermanfaat bagi
tempat yang kamu duduki tersebut.
0 comments:
Post a Comment