zakyzr.com

Wednesday, 31 October 2018

Al-Qur’an dan Buruknya Minat Baca Kita



Minat baca adalah ketertarikan yang amat sangat disertai dengan kesenangan dan perhatian yang sangat kuat terhadap aktivitas membaca. Dalam hal ini tentu saja membaca buku. Bukan membaca hal yang tidak tertulis, apalagi membaca hati seseorang. Al-Qur’an adalah bacaan, yang sekaligus menjadi mukjizat bagi Sang Utusan Terakhir, Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Lantas, apa hubungannya? Hubungannya sangat erat. Yang saya sebut pertama adalah minat baca, yang saya sebut kedua adalah salah satu bahan bacaan dalam kehidupan umat Islam.
            Dilihat dari beberapa data yang tersebar dalam beberapa referensi yang saya dapat, minat baca kita –umat Islam Indonesia- ternyata sangat menyedihkan. Saya sajikan dua data saja. Pertama, dilansir kompas.com dengan judul Per Hari, Rata-rata Orang Indonesia Hanya Baca Buku Kurang dari Sejam, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit, berdasarkan informasi yang dia dapat dari hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017. Dengan begitu kita berharap menteri kita tersebut memiliki terobosan apik untuk mendobrak budaya yang terbilang memalukan itu. Kedua, dari republika.co.id, didapatkan informasi bahwa minat baca di Indonesia masih rendah, yaitu menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara –alhamdulillah bukan peringkat terakhir, berdasarkan hasil studi Most Literred Nation in the world 2016. Untuk itu, diadakan Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca, yang diucapkan oleh Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan RI Woro Titi Haryati di Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Februari 2018 silam dalam sambutannya. Informasi ini dapat dicek di laman republika berjudul Minat Baca di Indonesia Disebut Masih Rendah. Dengan demikian, setidaknya minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01 persen, alias satu berbanding 10 ribu orang. Itu memang masyarakat Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya yang beragama Islam. Butuh penelitian yang lebih spesifik untuk menilai seberapa besar minat baca umat Islam Indonesia. Namun, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, bolehlah kita asumsikan bahwa minat baca umat Islam Indonesia sangatlah rendah.
            Informasi lainnya saya dapat dari literatur yang sudah agak lama, tetapi nampaknya masih relevan hingga hari ini. Buku tersebut berjudul Iqra’ Laa Budda an Taqra’ & al-Qiraatu Minhaj al-Hayah yang ditulis oleh Raghib as-Sirjani dan Amir al-Madari. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Spiritual Reading pada tahun 2007 oleh penerbit Aqwam. Dalam buku tersebut, disajikan informasi bahwa pada salah satu kampus di negara Arab, 72 persen mahasiswanya belum pernah meminjam satu pun buku dari perpustakaan. 37 persen umat Islam tidak bisa baca-tulis. Mau tak mau, penulis membandingkan dengan minat baca dari negara lain. Orang-orang Jepang menghabiskan rata-rata 40 buku dalam setahun, orang-orang Eropa 20 buku dalam setahun. Sementara bangsa Arab hanya satu sepersepuluh buku per tahun. Bangsa Arab, tentu saja didominasi oleh kaum muslimin. Inilah yang menjadi PR besar bagi kita yang menanamkan ideologi dalam diri kita dan anak-anak kita, bahwa al-Aqsha akan kembali ke pangkuan umat Islam. Sulit sekali terjadi, apalagi Raghib as-Sirjani mengutip perkataan seorang tokoh Yahudi, “Kami tidak takut dengan orang Islam, sebab orang Islam adalah umat yang tidak membaca.”
            Masih dalam buku Spiritual Reading, ada sebuah kutipan menarik dari penulis yang patut menjadi pegangan dalam hidup kita, “Sesungguhnya, membaca bukan sekadar hobi, tapi sebuah konsep hidup”. Ya, itulah salah satu masalah yang membuat kita minim ilmu, karena membaca hanya sekadar dijadikan hobi, bukan bagian dari kehidupan. Seharusnya, membaca menjadi kebutuhan kita, sebagaimana makan, minum, dan bahkan bernafas. Dalam Islam, jelas kegiatan membaca adalah ibadah. Karena wahyu pertama yang turun adalah perintah membaca, dan aktivitas yang terpenting selain yang disebutkan dalam rukun Islam adalah membaca al-Qur’an. Mukjizat paling awet sepanjang sejarah adalah bahan bacaan, yakni al-Qur’an yang memuat berbagai kisah dan konsep kehidupan sehari-hari.
            Kurangnya membaca, menjadikan kita manusia yang jumud dalam berpikir, memiliki pikiran yang tidak terbuka, juga mudah tersulut emosi atas hal-hal yang tidak kita kuasai ilmunya. Maka, seringkali orang-orang menyebut ada sebagian kelompok Islam yang sumbu pendek (mudah tersulut amarahnya), mudah memberi cap bid’ah, tidak nyunnah, sesat, kafir, dan cap-cap lain yang sangat alergi didengar oleh sebagian orang. Memang sebagai muslim kita harus tegas jika memang sesat ya katakan saja sesat. Jika memang kafir, ya katakan saja kafir. Jika memang bid’ah ya katakan saja bid’ah. Akan tetapi, mengucapkan hal-hal tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Hanya karena membaca satu ayat dan satu hadits yang shahih, tidak lantas membuat kita punya otoritas khusus untuk menentukan sebuah hukum. Para ulama butuh musyawarah untuk menentukan hukum, yang di antara mereka semua adalah para penghafal ribuan ayat dan hadits, yang tentu saja merek sudah meneliti secara mendalam tentang dalil-dalil yang akan dimusyawarahkan. Jika kita ingin menulis buku tentang psikologi perkembangan, apakah kita cukup hanya membaca satu referensi saja untuk menulis sebuah buku? Tentu saja tidak. kita butuh banya referensi, butuh banyak sudut pandang, juga butuh banyak penelitian lapangan, sehingga apa yang kita tulis bermanfaat dan dapat menjadi referensi bagi orang lain yang sedang mempelajari hal yang sama.
Kasus terakhir soal sumbu pendeknya umat Islam Indonesia adalah ulah Tretan Muslim dan Coki Pardede yang saya pun tidak paham betul apa sesungguhnya profesi mereka. Apakah mereka komedian, penyiar radio, atau koki profesional sebagaimana yang dicantumkan oleh Tretan Muslim dalam akun instagramnya. Saya mengapresiasi kedewasaan pihak mereka untuk menghentikan penampilan mereka di Majelis Lucu Indonesia. Mereka memakai bahan komedi yang sensitif dan terkesan hanya cari sensasi. Seharusnya mereka tahu, budaya Indonesia ini budaya sopan santun. Jangan disamakan dengan negara lain yang kata para penggemarnya ‘terbiasa dengan lawakan jujur’. Sudah, stop. Jangan memperdebatkan itu. Kita punya budaya yang berbeda. banyak materi komedi yang lucu dan cerdas. Contoh saja grup lawak Warkop –meski dalam beberapa filmnya banyak adegan tidak senonoh-, Patrio, Srimulat, Bagito, 4 Sekawan, hingga Cagur. Setidaknya mereka berhasil menampilkan lawakan yang sederhana, namun tidak berlebihan seperti lawakan-lawakan garing yang disajikan berbagai stasiun televisi dalam beberapa tahun terakhir. Dimana penontonnya harus dibayar untuk rela tertawa terpingkal-pingkal. Di sisi yang lain, ini juga PR bagi kita umat Islam. Mereka hanya ingin tenar tanpa mengerti bagaimana cara yang apik untuk tenar. Sudah jelas membawa persoalan agama untuk lucu-lucuan akan menimbulkan reaksi besar dari umat Islam yang memang mereka sebut hobi mengkafir-kafirkan. Justru dengan reaksi umat Islam itulah mereka akan merasa berhasil dan teruji ketangguhannya dalam dunia entertain. Padahal jika kita tidak pedulikan mereka, ujung-ujungnya mereka akan lelah sendiri dan tenggelam dengan kelelahan itu. Lagipula ulah seperti itu sesuai dengan apa yang disebutkan al-Qur’an, Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman,” (at-Taubah: 64-65). Mereka yang membuat lelucon membawa-bawa agama, sudah jelas statusnya. Apalagi memang tujuan mereka mendapat keuntungan dari lelucon tersebut. Biarkan saja. Karena menasihati mereka adalah perbuatan sia-sia. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (al-Baqarah: 6-7).
Benar kita harus membela agama Allah, yang berarti membela Rasul, dan membela Qur’an. Tetapi ada hal yang patut kita soroti, yakni runcingnya perbedaan yang kemudian jadi santapan empuk olok-olok mereka. Gara-gara lelucon mereka, orang-orang yang berpenampilan nyunnah dengan celana di atas mata kaki, berjanggut lebat, juga berkerudung lebar bahkan bercadar bagi perempuan tetapi tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan yang disebut suka mengkafirkan dan membid’ahkan kena getahnya juga. Mereka dicap teroris dan intoleran, padahal tidak ada kekacauan yang mereka buat. Mengapa kita gampang berpecah? Mengapa kita mudah tersinggung dan marah? Salah satunya karena kita kurang membaca. Untungnya ada al-Qur’an, yang pasti dapat pahala jika kita membacanya. Bahkan pahalanya dihitung per huruf, enak sekali. Namun, pahala hanyalah pemicu untuk kita menjadi rajin membacanya, nilai plus dari membaca al-Qur’an akan lebih terasa ketika kita betul-betul mempelajarinya. Masalahnya ktia masih berdebat soal sunnah membaca surah di malam Jumat, apakah membaca surah Yaasiin atau al-Kahfi yang lebih utama. Padahal intinya bukan soal pahalanya, tetapi pelajaran yang kita dapat dari surah-surah itu. Pelajaran tentang pemuda berprinsip, tentang kesombongan yang membinasakan, tentang kesabaran dalam menuntut ilmu, dan tentang menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat, termaktub jelas dalam surah al-Kahfi. Tentang nabi yang diusir, tentang Ashabul Qaryah, tentang peredaran benda-benda dalam galaksi kita, juga termaktub elegan dalam surah Yaasiin. Masalahnya, apakah kita mempelajarinya di samping memburu pahala? Andai kita kembali kepada al-Qur’an, dengan benar-benar mempelajarinya, barangkali umat ini akan melaju lebih cepat, dan cita-cita kembalinya al-Aqsha ke pangkuan sudah pasti tercapai lebih cepat. Namun, mungkin itulah takdir agar kita benar-benar mempelajari tanda-tanda dari-Nya.
            Al-Qur’an menyelamatkan kita dari minat baca yang rendah. Al-Qur’an memberitakan kepada kita agar kita menjadi umat yang sempurna dalam berpikir dan bertindak, dengan mengharuskan aktivitas membaca menjadi bagian dari hidup kita. Perintah Allah adalah membaca dengan menyebut nama-Nya dalam QS. al-Alaq ayat 1, berarti membaca basmalah sebelum membaca. Maka sama dengan makan dan minum, membaca basmalah sebelum memulainya. Agar bacaan kita menjadi berkah dan menyehatkan pikiran kita. Selain itu, membaca dengan menyebut nama-Nya tidak akan membuat kita kehilangan rasa rendah hati, alias merasa paling tahu, sebagaiamana yang sering menghinggapi orang-orang yang baru menuntut ilmu. Masalah yang membuat kita kehilangan minat membaca adalah karena belum terbiasa, sehingga cepat merasa bosan. Lihatlah orang Jepang, mereka menyempatkan membaca sambil mengantre atau dalam kendaraan umum. Orang Islandia punya pepatah “Lebih baik telanjang di depan umum dariapada tidak membaca sama sekali,” bagaimana dengan kita? Banyak waktu kita terbuang sia-sia yang sebenarnya bisa saja dihabiskan untuk membaca. Akibat kita yang tidak terbiasa membaca, maka waktu berharga untuk membaca jadi terbuang sia-sia. Penyebab lain yang membuat minat baca menurun adalah karena kita tidak punya tujuan jelas dalam membaca, hanya sekadar ingin tahu atau bahkan hanya membaca tema-tema ringan yang sesungguhnya tidak terlalu penting bagi kehidupan kita.
Bagaimana menumbuhkan minat baca? Pertama, yang pasti harus ada niat yang benar. Sebagaimana yang tadi saya sebutkan, kita menjadikan aktivitas membaca sebagai kebutuhan hidup serta ibadah yang harus membaca basmalah sebelum kita melakukannya. Kedua, harus memiliki perencanaan yang jelas dalam membaca. Sesuaikan dengan kepadatan aktivitas kita. Jika ingin membaca buku setebal 500 halaman, tetapi pekerjaan sangat menyita waktu yang mengharuskan berangkat sejak jam 7 pagi dan baru tiba di rumah jam 6 sore, lebih baik diurungkan dan dialihkan ke buku dengna tema serupa tetapi lebih sedikit halamannya. Kecuali memang sudah terbiasa membaca di sela-sela kesibukan, atau tema buku 500 halaman itu memang tidak terlalu berat untuk dipahami. Ketiga, Jangan membaca satu buku sekaligus, apalagi itu bukan novel. Bacalah per bab atau per sub bab per hari jika buku tersebut memuat halaman yang amat banyak per babnya. Ini akan menghindarkan diri kita dari kebosanan dalam membaca, dan agar kita lebih dapat menyerap informasi dari buku tersebut. Kalau kita mengutamakan kuantitas halaman dalam membaca, maka kita akan kesulitan menyerap informasi dari buku yang kita baca. Keempat, fokus dalam membaca. Seringkali kita rajin membaca, tetapi ada waktu-waktu atau tempat-tempat dimana kita kurang fokus saat membaca. Hindari ini, karena ini akan membawa kita pada kesia-siaan dalam membaca. Kelima, menandai atau menuliskan kembali hal-hal penting dari buku yang kita baca. Ini membantu kita mengingat dan menambah kemanfaatan dalam membaca. Keenam, seimbangkan materi bacaan berat dengan bacaan ringan semisal karya sastra yang sangat seru bagi kita untuk dibaca. Porsinya tidak harus 50:50 antara buku berat dan ringan. Boleh 40:60 atau 30:70 yang penting ada bacaan bermanfaat untuk kita tiap bulannya. Ketujuh, buat perpustakaan di rumah. Kalau belum mampu, setidaknya di rumah atau kamar kita, sediakan tumpukan buku yang ketika kita membuka pintu atau beristirahat di dalamnya, kita melihat buku-buku tersebut. Hal itu setidaknya membantu pikiran kita untuk memaksa kita mengambil dan membaca buku-buku tersebut.
Demikian. Mari membaca!

Wednesday, 24 October 2018

Realita Komoditas ‘Hijrah’ Kita


            Ketika beberapa tahun lalu seorang kawan berkata kepada saya, “Syari’at Islam sangat seksi untuk dijadikan bahan jualan,” saya tersentak, tersinggung, lalu mendebatnya. Apa yang membuatnya berkata seperti itu, apa alasan mendasar yang membuatnya berani berkata seperti itu. Katanya, karena semakin ke sini makin marak saja produk-produk berlabel syari’ah. Hotel syari’ah, bank syari’ah, pariwisata syari’ah, manajemen syari’ah, apa-apa syari’ah. Katanya itu adalah contoh bahwa syari’ah menjadi label dagangan yang menguntungkan. Namun, apapun itu, setuju atau tidak setuju, memanglah kita patut merenung.
            Sebagian pihak memang menganggap produk syari’ah lebih aman dan terpercaya. Sebagiannya lagi menganggap produk syari’ah seringkali lebih merugikan, mereka menyorot contohnya dari bank syari’ah. Sistem bagi hasil yang katanya justru lebih kecil keuntungannya ketimbang bank konvensional. Well, kita tidak akan memperdebatkan rugi-untungnya menggunakan bank syari’ah. Karena bahasan kita memang bukan itu. Setelah maraknya produk-produk syari’ah, selera pasar kemudian bergerak lebih ke kanan, lebih ke brand muslim. Penjualan busana muslim dari yang mahal yang murah meriah, hijab syar’i yang dulunya asing tetapi kini mulai banyak digandrungi, celana laki-laki di atas mata kaki yang nyunnah kini laris dan semakin terdongkrak oleh fesyen secara umum, bahkan bukan cuma hijab syar’i yang panjang dan lebar, tetapi juga cadar yang semakin banyak muslimah percaya diri mengenakannya tanpa memandang golongan dan lingkungannya.
            Islam mulai menarik banyak kalangan. Dahulu, kalangan selebriti, kalangan jet set, kalangan borjuis, kalangan menengah ke atas yang hidupnya serba mewah dianggap jauh dari kehidupan bernuansa Islam. Bahkan hingga tahun 2000-an awal, pengunaan kerudung oleh kebanyakan perempuan biasanya dicurigai berasal dari golongan Islam tertentu, yang tentunya negatif di mata masyarakat pada umumnya. Akan tetapi lihatlah tahun-tahun setelahnya hingga sekarang. Kita akan aneh melihat perempuan muslimah, rajin sholatnya, tetapi jarang menggunakan kerudung. Bahkan –maaf- tidak sedikit akan kita dapati perempuan berkerudung di tempat-tempat hiburan malam, atau tempat-tempat manapun yang memang tidak lazim jika terdapat orang-orang religius berkumpul di sana. Di satu sisi kita akan bersyukur bahwa penggunaan pakaian yang menutup aurat menjadi marak dan lazim, tetapi di sisi lain ini menjadi PR baru untuk memahamkan bahwa pakaian haruslah sejalan dengan perilaku. Karena pakaian adalah pelindung pertama seorang manusia, sebelum diteliti lebih dalam lagi kepada hati dan pikirannya.
            Fenomena ini merembet ke figur-figur publik. Kita melihat banyak sekali artis yang hijrah, alhamdulillah. Sebuah kata yang di zaman sekarang semakin santer didengar, bahkan menjadi salah satu tema kajian keislaman yang paling menarik untuk diikuti, terutama bagi kawula muda. Hijrah, akhirnya menjadi sebuah kata untuk menentukan mana yang sudah benar mana yang masih belum benar. Simpelnya, bagi wanita yang tadinya belum berkerudung, kemudian berkerudung, dapatlah dia disebut hijrah. Atau tadinya sudah berkerudung tetapi belum menutupi dada, kemudian mantap mengenakan kerudung yang lebih lebar dan menutupi dada, bahkan sampai ke bawah lagi, dapatlah dia disebut hijrah.
            Apakah fenomena hijrah ini suatu kebetulan dan spontanitas? Tentu tidak. Sebagaimana yang disebut oleh teman saya di atas, bahwa Syari’at Islam telah menjadi merk dagang yang sangat laris. Segala sesuatu akan menemui titik jenuhnya, begitu juga dalam kehidupan manusia. Orang-orang akan jenuh terus-terusan jauh dari agama, karena tanpa agama, hidup mereka sama saja tanpa norma dan aturan. Mereka butuh sesuatu untuk mengerem maksiat-maksiatnya, mereka akan merasa haus akan wejangan yang menyejukkan, mereka akan mencari apa yang selama ini sesungguhnya mereka butuhkan walau kadang tidak diinginkan. Itulah agama, itulah Islam, yang selama ini tertera di KTP mereka walau mereka tidak sepenuhnya menyadari bahwa tulisan ‘Islam’ itu dibubuhkan sejajar dengan tulisan ‘agama’. Lantas, apakah fenomena ini akan bertahan lama? Iya, akan bertahan, tetapi mungkin tidak begitu lama. Masyarakat juga akan jenuh dengan pamor hijrah yang ‘begitu-begitu saja’. Mengapa saya katakan begitu-begitu saja?
            Sekarang, coba sebutkan sosok figur publik hijrah yang Anda ketahui. Kemudian, sebutkan apa alasannya berhijrah. Lalu, kemukakan dalam benak Anda sekalian, apa hikmah di balik kisah hijrahnya. Terutama bagi Anda yang pernah mendatangi event yang diisi oleh sosok tersebut, pasti Anda bisa membayangkannya. Bagi Anda yang belum pernah datang ke event yang mereka isi, saya berikan contoh saja. Misal, sosok hijrah A awalnya adalah seorang aktor yang telah membintangi banyak sekali film dengan berbagi genre dan konten. Tidak jarang dalam film-filmnya, si A harus beradegan hal-hal yang dilarang agama. Kemudian, dalam pengembaraannya, di suatu malam, di pojok sebuah masjid, dirinya merenung, dan merasakan getaran berbeda dalam dirinya yang membuatnya mantap untuk berhijrah. Begitulah ceritanya, kemudian cerita itu disebarkan ke publik Lalu si A ini diundang kemana-mana untuk bercerita soal hijrahnya. Sampai di sini, coba bayangkan, ketika si A sudah semakin tenar, dan jadwalnya semakin padat, adakah waktu yang dimilikinya untuk belajar ilmu-ilmu agama agar penceritaan kisah hijrahnya lebih berisi dan empuk disantap masyarakat? Mungkin waktunya ada, tetapi tidak banyak. Sayangnya, pengembaraan kisah hijrahnya tidak berhenti sampai di situ. Si A ‘hanya’ untuk bercerita itu saja, mematok tarif sekitar 10 juta rupiah per event tanpa pertanggungjawaban apakah si peserta mengerti atau sekadar ingin foto-foto saja, atau memang tarifnya adalah biaya untuk foto-foto dengan penggemarnya, kemudian tanpa pertanggungjawaban pula apakah ilmu yang disampaikannya sahih atau tidak. Hal ini, jika dibiarkan terus akan seperti bola salju yang menggelinding dan menghempaskan diri sosok tersebut.
            Kita patut bahagia banyak sosok hijrah yang jadi panutan, sehingga banyak orang awam yang tidak canggung-canggung lagi ikut kajian keislaman, atau berbusana sesuai sunnah karena contoh mereka adalah figur publik. Seorang publik figur saja tidak malu, masa sih kita yang bukan apa-apa ini malu menampakkan keislamannya? Maka sosok seperti itu adalah tanggung jawab kita bersama. Pujilah mereka sebagai hadiah atas tekadnya berhijrah, tetapi jangan sampai berlebihan. Karena mereka butuh waktu belajar, demi kesempurnaan hijrahnya. Hijrah itu proses, bukan hasil akhir. Setinggi-tinggi hijrah adalah ketika mereka sudah mampu mengikuti perintah Allah, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,” (QS. 24:30-31). Inilah perintah yang paling penting untuk hijrah kita, untuk mencapai derajat orang beriman. Lalu harus meningkat ke derajat orang bertakwa, dan kemudian derajat orang yang ihsan.
            Kita harus saling merangkul sebagai saudara dalam iman. Karena sesungguhnya setiap kita sedang dalam proses hijrah, proses berpindah dari satu keburukan kepada kebaikan, bukan dari satu keburukan kepada keburukan yang lain. Kita semua dalam proses hijrah, proses berpindah dari satu kebaikan kepada kebaikan yang kebaikannya lebih baik, bukan dari satu kebaikan kepada keburukan. Seyogianya saling memuji jika berada dalam kebaikan, pujian yang mengingatkan, bukan pujian yang melalaikan. Sepatutnya saling mengingatkan jika berada dalam keburukan, mengingatkan yang menentramkan, bukan mengingatkan yang menjatuhkan. Stop memuja-muja, menggemarinya bak pangeran yang sangat tampan hingga tanpa sadar kita mengembalikannya ke jurang jahiliyah yang sudah mereka tinggalkan. Hargailah sepantasnya. Begitu pun kepada yang merasa sosok hijrah. Sepatutnya Anda menjadi penunjuk jalan, sebagai orang yang sudah berpengalaman dalam proses melepaskan diri dalam maksiat. Bukan malah jual mahal, seolah-olah ilmu kalian lebih luas daripada langit dan bumi. Ingat, ulama kita di luar sana dicaci-maki hanya karena asistennya minta bayaran yang pantas untuk ustadznya, mengingat jadwalnya yang padat dan sampai harus meninggalkan anak-istrinya. Padahal ilmu Anda dengan ilmu ulama mungkin tidak lebih dari ujung kukunya yang rutin dipotong sepekan sekali. Ulama kita di luar sana, bahkan ada yang tidak pernah memiliki rumah sendiri karena sedemikian ikhlas dan ingin membersihkan diri dari harta yang syubhat, mereka tidak pernah memikirkan bayaran ketika menyampaikan ilmu. Bahkan penginapan yang mereka terima hanyalah rumah warga yang sangat sederhana.
            Kembalilah menginjak bumi, kembalilah ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan biarkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab semakin yakin, bahwa syari’at Islam, hijrah, dan lain-lain itu memang hanya menjadi tameng dari maksiat-maksiat kita, hanya menjadi merk dagang untuk mempertebal dompet kita.

*ditulis untuk mengingatkan diri sendiri.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com