Minat baca adalah
ketertarikan yang amat sangat disertai dengan kesenangan dan perhatian yang
sangat kuat terhadap aktivitas membaca. Dalam hal ini tentu saja membaca buku. Bukan
membaca hal yang tidak tertulis, apalagi membaca hati seseorang. Al-Qur’an
adalah bacaan, yang sekaligus menjadi mukjizat bagi Sang Utusan Terakhir, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Lantas, apa hubungannya? Hubungannya
sangat erat. Yang saya sebut pertama adalah minat baca, yang saya sebut kedua
adalah salah satu bahan bacaan dalam kehidupan umat Islam.
Dilihat dari beberapa data yang
tersebar dalam beberapa referensi yang saya dapat, minat baca kita –umat Islam
Indonesia- ternyata sangat menyedihkan. Saya sajikan dua data saja. Pertama,
dilansir kompas.com dengan judul Per Hari, Rata-rata Orang Indonesia Hanya
Baca Buku Kurang dari Sejam, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan Puan Maharani menyatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya
membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari
rata-rata 30-59 menit, berdasarkan informasi yang dia dapat dari hasil
penelitian perpustakaan nasional tahun 2017. Dengan begitu kita berharap
menteri kita tersebut memiliki terobosan apik untuk mendobrak budaya yang
terbilang memalukan itu. Kedua, dari republika.co.id, didapatkan
informasi bahwa minat baca di Indonesia masih rendah, yaitu menduduki peringkat
ke-60 dari 61 negara –alhamdulillah bukan peringkat terakhir, berdasarkan hasil
studi Most Literred Nation in the world 2016. Untuk itu, diadakan Safari
Gerakan Nasional Gemar Membaca, yang diucapkan oleh Deputi Bidang Pengembangan
Sumber Daya Perpustakaan RI Woro Titi Haryati di Pekalongan, Jawa Tengah, pada
tanggal 20 Februari 2018 silam dalam sambutannya. Informasi ini dapat dicek di
laman republika berjudul Minat Baca di Indonesia Disebut Masih Rendah. Dengan
demikian, setidaknya minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01 persen,
alias satu berbanding 10 ribu orang. Itu memang masyarakat Indonesia secara
keseluruhan, bukan hanya yang beragama Islam. Butuh penelitian yang lebih spesifik
untuk menilai seberapa besar minat baca umat Islam Indonesia. Namun, karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, bolehlah kita asumsikan bahwa
minat baca umat Islam Indonesia sangatlah rendah.
Informasi lainnya saya dapat dari
literatur yang sudah agak lama, tetapi nampaknya masih relevan hingga hari ini.
Buku tersebut berjudul Iqra’ Laa Budda an Taqra’ & al-Qiraatu Minhaj al-Hayah
yang ditulis oleh Raghib as-Sirjani dan Amir al-Madari. Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Spiritual Reading pada
tahun 2007 oleh penerbit Aqwam. Dalam buku tersebut, disajikan informasi
bahwa pada salah satu kampus di negara Arab, 72 persen mahasiswanya belum
pernah meminjam satu pun buku dari perpustakaan. 37 persen umat Islam tidak
bisa baca-tulis. Mau tak mau, penulis membandingkan dengan minat baca dari
negara lain. Orang-orang Jepang menghabiskan rata-rata 40 buku dalam setahun, orang-orang
Eropa 20 buku dalam setahun. Sementara bangsa Arab hanya satu sepersepuluh buku
per tahun. Bangsa Arab, tentu saja didominasi oleh kaum muslimin. Inilah yang
menjadi PR besar bagi kita yang menanamkan ideologi dalam diri kita dan
anak-anak kita, bahwa al-Aqsha akan kembali ke pangkuan umat Islam. Sulit sekali
terjadi, apalagi Raghib as-Sirjani mengutip perkataan seorang tokoh Yahudi, “Kami
tidak takut dengan orang Islam, sebab orang Islam adalah umat yang tidak
membaca.”
Masih dalam buku Spiritual
Reading, ada sebuah kutipan menarik dari penulis yang patut menjadi
pegangan dalam hidup kita, “Sesungguhnya, membaca bukan sekadar hobi, tapi
sebuah konsep hidup”. Ya, itulah salah satu masalah yang membuat kita minim
ilmu, karena membaca hanya sekadar dijadikan hobi, bukan bagian dari kehidupan.
Seharusnya, membaca menjadi kebutuhan kita, sebagaimana makan, minum, dan
bahkan bernafas. Dalam Islam, jelas kegiatan membaca adalah ibadah. Karena wahyu
pertama yang turun adalah perintah membaca, dan aktivitas yang terpenting
selain yang disebutkan dalam rukun Islam adalah membaca al-Qur’an. Mukjizat paling
awet sepanjang sejarah adalah bahan bacaan, yakni al-Qur’an yang memuat
berbagai kisah dan konsep kehidupan sehari-hari.
Kurangnya membaca, menjadikan kita
manusia yang jumud dalam berpikir, memiliki pikiran yang tidak terbuka, juga
mudah tersulut emosi atas hal-hal yang tidak kita kuasai ilmunya. Maka, seringkali
orang-orang menyebut ada sebagian kelompok Islam yang sumbu pendek (mudah
tersulut amarahnya), mudah memberi cap bid’ah, tidak nyunnah, sesat,
kafir, dan cap-cap lain yang sangat alergi didengar oleh sebagian orang. Memang
sebagai muslim kita harus tegas jika memang sesat ya katakan saja sesat. Jika memang
kafir, ya katakan saja kafir. Jika memang bid’ah ya katakan saja bid’ah. Akan tetapi,
mengucapkan hal-hal tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Hanya karena
membaca satu ayat dan satu hadits yang shahih, tidak lantas membuat kita punya
otoritas khusus untuk menentukan sebuah hukum. Para ulama butuh musyawarah
untuk menentukan hukum, yang di antara mereka semua adalah para penghafal
ribuan ayat dan hadits, yang tentu saja merek sudah meneliti secara mendalam
tentang dalil-dalil yang akan dimusyawarahkan. Jika kita ingin menulis buku tentang
psikologi perkembangan, apakah kita cukup hanya membaca satu referensi saja
untuk menulis sebuah buku? Tentu saja tidak. kita butuh banya referensi, butuh
banyak sudut pandang, juga butuh banyak penelitian lapangan, sehingga apa yang
kita tulis bermanfaat dan dapat menjadi referensi bagi orang lain yang sedang
mempelajari hal yang sama.
Kasus
terakhir soal sumbu pendeknya umat Islam Indonesia adalah ulah Tretan Muslim
dan Coki Pardede yang saya pun tidak paham betul apa sesungguhnya profesi
mereka. Apakah mereka komedian, penyiar radio, atau koki profesional
sebagaimana yang dicantumkan oleh Tretan Muslim dalam akun instagramnya. Saya mengapresiasi
kedewasaan pihak mereka untuk menghentikan penampilan mereka di Majelis Lucu Indonesia.
Mereka memakai bahan komedi yang sensitif dan terkesan hanya cari sensasi. Seharusnya
mereka tahu, budaya Indonesia ini budaya sopan santun. Jangan disamakan dengan
negara lain yang kata para penggemarnya ‘terbiasa dengan lawakan jujur’. Sudah,
stop. Jangan memperdebatkan itu. Kita punya budaya yang berbeda. banyak materi
komedi yang lucu dan cerdas. Contoh saja grup lawak Warkop –meski dalam
beberapa filmnya banyak adegan tidak senonoh-, Patrio, Srimulat, Bagito, 4
Sekawan, hingga Cagur. Setidaknya mereka berhasil menampilkan lawakan yang
sederhana, namun tidak berlebihan seperti lawakan-lawakan garing yang disajikan
berbagai stasiun televisi dalam beberapa tahun terakhir. Dimana penontonnya
harus dibayar untuk rela tertawa terpingkal-pingkal. Di sisi yang lain, ini
juga PR bagi kita umat Islam. Mereka hanya ingin tenar tanpa mengerti bagaimana
cara yang apik untuk tenar. Sudah jelas membawa persoalan agama untuk
lucu-lucuan akan menimbulkan reaksi besar dari umat Islam yang memang mereka
sebut hobi mengkafir-kafirkan. Justru dengan reaksi umat Islam itulah mereka
akan merasa berhasil dan teruji ketangguhannya dalam dunia entertain. Padahal jika
kita tidak pedulikan mereka, ujung-ujungnya mereka akan lelah sendiri dan
tenggelam dengan kelelahan itu. Lagipula ulah seperti itu sesuai dengan apa
yang disebutkan al-Qur’an, Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan
terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam
hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap
Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman,” (at-Taubah: 64-65). Mereka yang membuat lelucon
membawa-bawa agama, sudah jelas statusnya. Apalagi memang tujuan mereka
mendapat keuntungan dari lelucon tersebut. Biarkan saja. Karena menasihati
mereka adalah perbuatan sia-sia. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja
bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (al-Baqarah:
6-7).
Benar
kita harus membela agama Allah, yang berarti membela Rasul, dan membela Qur’an.
Tetapi ada hal yang patut kita soroti, yakni runcingnya perbedaan yang kemudian
jadi santapan empuk olok-olok mereka. Gara-gara lelucon mereka, orang-orang
yang berpenampilan nyunnah dengan celana di atas mata kaki, berjanggut
lebat, juga berkerudung lebar bahkan bercadar bagi perempuan tetapi tidak
sesuai dengan apa yang mereka katakan yang disebut suka mengkafirkan dan membid’ahkan
kena getahnya juga. Mereka dicap teroris dan intoleran, padahal tidak ada
kekacauan yang mereka buat. Mengapa kita gampang berpecah? Mengapa kita mudah
tersinggung dan marah? Salah satunya karena kita kurang membaca. Untungnya ada
al-Qur’an, yang pasti dapat pahala jika kita membacanya. Bahkan pahalanya
dihitung per huruf, enak sekali. Namun, pahala hanyalah pemicu untuk kita
menjadi rajin membacanya, nilai plus dari membaca al-Qur’an akan lebih terasa
ketika kita betul-betul mempelajarinya. Masalahnya ktia masih berdebat soal
sunnah membaca surah di malam Jumat, apakah membaca surah Yaasiin atau al-Kahfi
yang lebih utama. Padahal intinya bukan soal pahalanya, tetapi pelajaran yang
kita dapat dari surah-surah itu. Pelajaran tentang pemuda berprinsip, tentang
kesombongan yang membinasakan, tentang kesabaran dalam menuntut ilmu, dan
tentang menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat, termaktub jelas dalam
surah al-Kahfi. Tentang nabi yang diusir, tentang Ashabul Qaryah,
tentang peredaran benda-benda dalam galaksi kita, juga termaktub elegan dalam
surah Yaasiin. Masalahnya, apakah kita mempelajarinya di samping memburu
pahala? Andai kita kembali kepada al-Qur’an, dengan benar-benar mempelajarinya,
barangkali umat ini akan melaju lebih cepat, dan cita-cita kembalinya al-Aqsha
ke pangkuan sudah pasti tercapai lebih cepat. Namun, mungkin itulah takdir agar
kita benar-benar mempelajari tanda-tanda dari-Nya.
Al-Qur’an menyelamatkan kita dari
minat baca yang rendah. Al-Qur’an memberitakan kepada kita agar kita menjadi
umat yang sempurna dalam berpikir dan bertindak, dengan mengharuskan aktivitas
membaca menjadi bagian dari hidup kita. Perintah Allah adalah membaca dengan
menyebut nama-Nya dalam QS. al-Alaq ayat 1, berarti membaca basmalah sebelum
membaca. Maka sama dengan makan dan minum, membaca basmalah sebelum memulainya.
Agar bacaan kita menjadi berkah dan menyehatkan pikiran kita. Selain itu,
membaca dengan menyebut nama-Nya tidak akan membuat kita kehilangan rasa rendah
hati, alias merasa paling tahu, sebagaiamana yang sering menghinggapi
orang-orang yang baru menuntut ilmu. Masalah yang membuat kita kehilangan minat
membaca adalah karena belum terbiasa, sehingga cepat merasa bosan. Lihatlah orang
Jepang, mereka menyempatkan membaca sambil mengantre atau dalam kendaraan umum.
Orang Islandia punya pepatah “Lebih baik telanjang di depan umum dariapada
tidak membaca sama sekali,” bagaimana dengan kita? Banyak waktu kita terbuang
sia-sia yang sebenarnya bisa saja dihabiskan untuk membaca. Akibat kita yang
tidak terbiasa membaca, maka waktu berharga untuk membaca jadi terbuang
sia-sia. Penyebab lain yang membuat minat baca menurun adalah karena kita tidak
punya tujuan jelas dalam membaca, hanya sekadar ingin tahu atau bahkan hanya
membaca tema-tema ringan yang sesungguhnya tidak terlalu penting bagi kehidupan
kita.
Bagaimana
menumbuhkan minat baca? Pertama, yang pasti harus ada niat yang benar. Sebagaimana
yang tadi saya sebutkan, kita menjadikan aktivitas membaca sebagai kebutuhan
hidup serta ibadah yang harus membaca basmalah sebelum kita melakukannya. Kedua,
harus memiliki perencanaan yang jelas dalam membaca. Sesuaikan dengan
kepadatan aktivitas kita. Jika ingin membaca buku setebal 500 halaman, tetapi
pekerjaan sangat menyita waktu yang mengharuskan berangkat sejak jam 7 pagi dan
baru tiba di rumah jam 6 sore, lebih baik diurungkan dan dialihkan ke buku
dengna tema serupa tetapi lebih sedikit halamannya. Kecuali memang sudah
terbiasa membaca di sela-sela kesibukan, atau tema buku 500 halaman itu memang
tidak terlalu berat untuk dipahami. Ketiga, Jangan membaca satu buku
sekaligus, apalagi itu bukan novel. Bacalah per bab atau per sub bab per hari
jika buku tersebut memuat halaman yang amat banyak per babnya. Ini akan
menghindarkan diri kita dari kebosanan dalam membaca, dan agar kita lebih dapat
menyerap informasi dari buku tersebut. Kalau kita mengutamakan kuantitas
halaman dalam membaca, maka kita akan kesulitan menyerap informasi dari buku
yang kita baca. Keempat, fokus dalam membaca. Seringkali kita rajin
membaca, tetapi ada waktu-waktu atau tempat-tempat dimana kita kurang fokus
saat membaca. Hindari ini, karena ini akan membawa kita pada kesia-siaan dalam
membaca. Kelima, menandai atau menuliskan kembali hal-hal penting dari
buku yang kita baca. Ini membantu kita mengingat dan menambah kemanfaatan dalam
membaca. Keenam, seimbangkan materi bacaan berat dengan bacaan ringan
semisal karya sastra yang sangat seru bagi kita untuk dibaca. Porsinya tidak
harus 50:50 antara buku berat dan ringan. Boleh 40:60 atau 30:70 yang penting
ada bacaan bermanfaat untuk kita tiap bulannya. Ketujuh, buat
perpustakaan di rumah. Kalau belum mampu, setidaknya di rumah atau kamar kita,
sediakan tumpukan buku yang ketika kita membuka pintu atau beristirahat di
dalamnya, kita melihat buku-buku tersebut. Hal itu setidaknya membantu pikiran
kita untuk memaksa kita mengambil dan membaca buku-buku tersebut.
Demikian.
Mari membaca!
0 comments:
Post a Comment