Ketika beberapa tahun lalu seorang
kawan berkata kepada saya, “Syari’at Islam sangat seksi untuk dijadikan
bahan jualan,” saya tersentak, tersinggung, lalu mendebatnya. Apa yang
membuatnya berkata seperti itu, apa alasan mendasar yang membuatnya berani
berkata seperti itu. Katanya, karena semakin ke sini makin marak saja
produk-produk berlabel syari’ah. Hotel syari’ah, bank syari’ah, pariwisata
syari’ah, manajemen syari’ah, apa-apa syari’ah. Katanya itu adalah contoh bahwa
syari’ah menjadi label dagangan yang menguntungkan. Namun, apapun itu, setuju
atau tidak setuju, memanglah kita patut merenung.
Sebagian pihak memang menganggap produk
syari’ah lebih aman dan terpercaya. Sebagiannya lagi menganggap produk syari’ah
seringkali lebih merugikan, mereka menyorot contohnya dari bank syari’ah.
Sistem bagi hasil yang katanya justru lebih kecil keuntungannya ketimbang bank
konvensional. Well, kita tidak akan memperdebatkan rugi-untungnya
menggunakan bank syari’ah. Karena bahasan kita memang bukan itu. Setelah
maraknya produk-produk syari’ah, selera pasar kemudian bergerak lebih ke kanan,
lebih ke brand muslim. Penjualan busana muslim dari yang mahal yang
murah meriah, hijab syar’i yang dulunya asing tetapi kini mulai banyak
digandrungi, celana laki-laki di atas mata kaki yang nyunnah kini laris
dan semakin terdongkrak oleh fesyen secara umum, bahkan bukan cuma hijab syar’i
yang panjang dan lebar, tetapi juga cadar yang semakin banyak muslimah percaya
diri mengenakannya tanpa memandang golongan dan lingkungannya.
Islam mulai menarik banyak kalangan.
Dahulu, kalangan selebriti, kalangan jet set, kalangan borjuis, kalangan
menengah ke atas yang hidupnya serba mewah dianggap jauh dari kehidupan
bernuansa Islam. Bahkan hingga tahun 2000-an awal, pengunaan kerudung oleh
kebanyakan perempuan biasanya dicurigai berasal dari golongan Islam tertentu,
yang tentunya negatif di mata masyarakat pada umumnya. Akan tetapi lihatlah
tahun-tahun setelahnya hingga sekarang. Kita akan aneh melihat perempuan
muslimah, rajin sholatnya, tetapi jarang menggunakan kerudung. Bahkan –maaf-
tidak sedikit akan kita dapati perempuan berkerudung di tempat-tempat hiburan
malam, atau tempat-tempat manapun yang memang tidak lazim jika terdapat
orang-orang religius berkumpul di sana. Di satu sisi kita akan bersyukur bahwa
penggunaan pakaian yang menutup aurat menjadi marak dan lazim, tetapi di sisi
lain ini menjadi PR baru untuk memahamkan bahwa pakaian haruslah sejalan dengan
perilaku. Karena pakaian adalah pelindung pertama seorang manusia, sebelum
diteliti lebih dalam lagi kepada hati dan pikirannya.
Fenomena ini merembet ke figur-figur
publik. Kita melihat banyak sekali artis yang hijrah, alhamdulillah. Sebuah
kata yang di zaman sekarang semakin santer didengar, bahkan menjadi salah satu
tema kajian keislaman yang paling menarik untuk diikuti, terutama bagi kawula
muda. Hijrah, akhirnya menjadi sebuah kata untuk menentukan mana yang sudah
benar mana yang masih belum benar. Simpelnya, bagi wanita yang tadinya belum
berkerudung, kemudian berkerudung, dapatlah dia disebut hijrah. Atau tadinya
sudah berkerudung tetapi belum menutupi dada, kemudian mantap mengenakan
kerudung yang lebih lebar dan menutupi dada, bahkan sampai ke bawah lagi,
dapatlah dia disebut hijrah.
Apakah fenomena hijrah ini suatu
kebetulan dan spontanitas? Tentu tidak. Sebagaimana yang disebut oleh teman
saya di atas, bahwa Syari’at Islam telah menjadi merk dagang yang sangat laris.
Segala sesuatu akan menemui titik jenuhnya, begitu juga dalam kehidupan manusia.
Orang-orang akan jenuh terus-terusan jauh dari agama, karena tanpa agama, hidup
mereka sama saja tanpa norma dan aturan. Mereka butuh sesuatu untuk mengerem
maksiat-maksiatnya, mereka akan merasa haus akan wejangan yang menyejukkan,
mereka akan mencari apa yang selama ini sesungguhnya mereka butuhkan walau
kadang tidak diinginkan. Itulah agama, itulah Islam, yang selama ini tertera di
KTP mereka walau mereka tidak sepenuhnya menyadari bahwa tulisan ‘Islam’ itu
dibubuhkan sejajar dengan tulisan ‘agama’. Lantas, apakah fenomena ini akan
bertahan lama? Iya, akan bertahan, tetapi mungkin tidak begitu lama. Masyarakat
juga akan jenuh dengan pamor hijrah yang ‘begitu-begitu saja’. Mengapa saya
katakan begitu-begitu saja?
Sekarang, coba sebutkan sosok figur
publik hijrah yang Anda ketahui. Kemudian, sebutkan apa alasannya berhijrah. Lalu,
kemukakan dalam benak Anda sekalian, apa hikmah di balik kisah hijrahnya. Terutama
bagi Anda yang pernah mendatangi event yang diisi oleh sosok tersebut,
pasti Anda bisa membayangkannya. Bagi Anda yang belum pernah datang ke event
yang mereka isi, saya berikan contoh saja. Misal, sosok hijrah A awalnya
adalah seorang aktor yang telah membintangi banyak sekali film dengan berbagi
genre dan konten. Tidak jarang dalam film-filmnya, si A harus beradegan hal-hal
yang dilarang agama. Kemudian, dalam pengembaraannya, di suatu malam, di pojok
sebuah masjid, dirinya merenung, dan merasakan getaran berbeda dalam dirinya
yang membuatnya mantap untuk berhijrah. Begitulah ceritanya, kemudian cerita
itu disebarkan ke publik Lalu si A ini diundang kemana-mana untuk bercerita
soal hijrahnya. Sampai di sini, coba bayangkan, ketika si A sudah semakin
tenar, dan jadwalnya semakin padat, adakah waktu yang dimilikinya untuk belajar
ilmu-ilmu agama agar penceritaan kisah hijrahnya lebih berisi dan empuk
disantap masyarakat? Mungkin waktunya ada, tetapi tidak banyak. Sayangnya,
pengembaraan kisah hijrahnya tidak berhenti sampai di situ. Si A ‘hanya’ untuk
bercerita itu saja, mematok tarif sekitar 10 juta rupiah per event tanpa
pertanggungjawaban apakah si peserta mengerti atau sekadar ingin foto-foto
saja, atau memang tarifnya adalah biaya untuk foto-foto dengan penggemarnya,
kemudian tanpa pertanggungjawaban pula apakah ilmu yang disampaikannya sahih
atau tidak. Hal ini, jika dibiarkan terus akan seperti bola salju yang
menggelinding dan menghempaskan diri sosok tersebut.
Kita patut bahagia banyak sosok
hijrah yang jadi panutan, sehingga banyak orang awam yang tidak
canggung-canggung lagi ikut kajian keislaman, atau berbusana sesuai sunnah
karena contoh mereka adalah figur publik. Seorang publik figur saja tidak malu,
masa sih kita yang bukan apa-apa ini malu menampakkan keislamannya? Maka sosok
seperti itu adalah tanggung jawab kita bersama. Pujilah mereka sebagai hadiah
atas tekadnya berhijrah, tetapi jangan sampai berlebihan. Karena mereka butuh
waktu belajar, demi kesempurnaan hijrahnya. Hijrah itu proses, bukan hasil
akhir. Setinggi-tinggi hijrah adalah ketika mereka sudah mampu mengikuti
perintah Allah, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat". (30) Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,” (QS. 24:30-31). Inilah
perintah yang paling penting untuk hijrah kita, untuk mencapai derajat orang
beriman. Lalu harus meningkat ke derajat orang bertakwa, dan kemudian derajat
orang yang ihsan.
Kita harus saling merangkul sebagai
saudara dalam iman. Karena sesungguhnya setiap kita sedang dalam proses hijrah,
proses berpindah dari satu keburukan kepada kebaikan, bukan dari satu keburukan
kepada keburukan yang lain. Kita semua dalam proses hijrah, proses berpindah
dari satu kebaikan kepada kebaikan yang kebaikannya lebih baik, bukan dari satu
kebaikan kepada keburukan. Seyogianya saling memuji jika berada dalam kebaikan,
pujian yang mengingatkan, bukan pujian yang melalaikan. Sepatutnya saling
mengingatkan jika berada dalam keburukan, mengingatkan yang menentramkan, bukan
mengingatkan yang menjatuhkan. Stop memuja-muja, menggemarinya bak pangeran
yang sangat tampan hingga tanpa sadar kita mengembalikannya ke jurang jahiliyah
yang sudah mereka tinggalkan. Hargailah sepantasnya. Begitu pun kepada yang
merasa sosok hijrah. Sepatutnya Anda menjadi penunjuk jalan, sebagai orang yang
sudah berpengalaman dalam proses melepaskan diri dalam maksiat. Bukan malah
jual mahal, seolah-olah ilmu kalian lebih luas daripada langit dan bumi. Ingat,
ulama kita di luar sana dicaci-maki hanya karena asistennya minta bayaran yang
pantas untuk ustadznya, mengingat jadwalnya yang padat dan sampai harus meninggalkan
anak-istrinya. Padahal ilmu Anda dengan ilmu ulama mungkin tidak lebih dari
ujung kukunya yang rutin dipotong sepekan sekali. Ulama kita di luar sana,
bahkan ada yang tidak pernah memiliki rumah sendiri karena sedemikian ikhlas
dan ingin membersihkan diri dari harta yang syubhat, mereka tidak pernah
memikirkan bayaran ketika menyampaikan ilmu. Bahkan penginapan yang mereka
terima hanyalah rumah warga yang sangat sederhana.
Kembalilah menginjak bumi,
kembalilah ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan biarkan
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab semakin yakin, bahwa syari’at Islam,
hijrah, dan lain-lain itu memang hanya menjadi tameng dari maksiat-maksiat
kita, hanya menjadi merk dagang untuk mempertebal dompet kita.
*ditulis untuk
mengingatkan diri sendiri.
0 comments:
Post a Comment